CERPEN- SANG PERAWAN LAYU
Posted byErna Suryandari*
( Dimuat di Harian Joglosemar, 18 Desember 2010 )
“Kapankah ada seseorang yang melamarku, Ibu?”, seketika kulemparkan pertanyaan itu ketika kudengar langkah kaki ibu menuju kamar diikuti seraut wajahnya yang menua sembari tangannya menggenggam sepotong pakaian wangi. Selalu pertanyaan serupa. Mungkin Ibu juga telah bosan dengan jejalan kelimat tanya yang ia tak punya jawaban secuil pun.
“Mungkin bulan depan Mas Andi, kekasihmu, akan pulang dari melaut. Sesegera mungkin ia akan datang kesini menjemputmu, Nduk”, jawab Ibu sembari kedua tangannya melepaskan kancing bajuku. Tangannya telah terampil untuk pekerjaan yang satu ini. Ya, ia yang selalu melepas dan memakaikan pakaian bersih setiap pagi dan sore hari. Juga menyuapiku nasi dan memasang pispot di bawah kursi roda bila aku hendak buang hajat. Lalu, bila matahari mulai tak tampak dan lampu kamar mulai padam, ia akan memapahku ke ranjang besi tua yang selalu berderit bila ada sesuatu yang mebuatnya bergeser.
Sudah sepuluh tahun. Tepatnya sepuluh tahun lebih dua bulan lebih tujuh belas hari. Ya, aku menghitungnya. Selalu menghitungnya. Menghitung hari-hari gelap nan suram yang terhabiskan untuk menekuni kursi roda dan kamar gelap yang pengap ini. Semenjak kecelakaan maut itu tepatnya. Syaraf kedua tangan dan kakiku putus. Total aku menjadi manusia lumpuh. Lumpuh raga dan lumpuh jiwa. Juga lumpuh pengharapan. Suara klakson mobil yang mendenging keras memintaku untuk segera mengambil lajur kiri itu masih kudengar jelas. Ya, aku masih mendengar teriakan histeris manusia di sekelilingku saat mereka menyaksikan Bapak tergilas mobil itu. Juga mendengar jeritan Ibu di rumah sakit ketika dokter mengatakan bahwa Bapak meninggal dan aku lumpuh total. Bagaimana tidak, aku adalah putri semata wayang kebanggaan keluarga yang menjadi orang pertama di keluarga yang mengenyam pendidikan sampai ke tingkat Master, kini tak lebih dari manusia layu yang menunggu jemputan malaikat di atas kursi roda dan ranjang besi tua.
“Bu, kalau aku mati saja bagaimana?”, tawaranku kepada Ibu agar ia tak perlu mengurusi raga layuku yang tiga tahun lagi akan genap berusia empat puluh tahun.
“Nanti dulu, tunggu lah Mas Andi pulang dari melaut. Bapakmu kan ingin melihatmu menikah. Jadi jangan mati dulu, Nduk”, ucap Ibu sembari merapikan sprei. Ah Ibu, tak sadarkah kau bahwa Mas Andi, calon menantu yang dulu kau harapkan, kini telah menikah dengan orang lain dan anaknya telah besar? Tak sadarkah kau bahwa Bapak telah mati pada kecelakaan yang juga membuat tubuhku lumpuh ini? Aku memandangi wajah Ibu yang guratan keriputnya telah lengkap.
***
11 tahun yang lalu
Hari wisuda yang membahagiakan telah memenuhi seluruh rumah dengan doa yang tiada henti-hentinya. Lulus S2 dari Universitas Gajah Mada dengan nilai memuaskan adalah prestasi tertinggi di sepanjang sejarah kehidupanku. Karier sebagai dosen di sebuah Universitas Swasta di Jogja telah menanti. Mas Andi, kekasihku, telah pulang dari melaut. Rencana lamaran yang disusul dengan pertunangan telah dibuat, tiga bulan lagi. Kebahagiaan yang sangatlah lengkap, bukan?
Akan tetapi, nampaknya Tuhan tak terlalu baik selepas hari wisuda itu. Mas Bambang, jejaka tua yang menjabat lurah di desaku, datang ke rumah sore itu. Beserta keluarga dan arak-arakan manusia berpakaian batik sambil menjinjing beberapa keranjang hias, ia mengetuk rumahku yang sedari tadi pagi terkunci. Ia berniat melamarku. Bapak yang menginginkan jodoh terbaik untuk putri semata wayangnya tentu tak akan melepaskan aku untuk dipersunting lelaki separuh baya yang terkenal playboy itu. Aku hanya diam di dalam bersama Ibu duduk di ruang tengah, sementara Bapak di ruang tamu tengah dimaki habis-habisan karena lamaran yang ditolak mentah-mentah.
“Ingat Pak Sastro, saya sumpahi Bapak mati mengenaskan, saya sumpahi Ningrum jadi perawan tua yang tak berguna, saya sumpahi istrimu gila”, suara lelaki itu sembari keluar dari rumahku dan membanting pintu depan. Aku menutup telinga rapat-rapat, Ibu menangis pelan, dan Bapak terdiam.
Sumpah serapah itulah yang membuat hidupku menjadi berubah arah. Mas Andi tak jadi menikahiku. Aku paham. Manusia mana yang sudi menikahi wanita yang seumur hidupnya akan bergantung pada kursi roda dan uluran tangan orang lain? Aku paham bila Mas Andi lebih memilih melamar gadis lain pilihan keluarga untuk dinikahinya di hari yang semula direncanakan untuk hari pernikahanku. Aku juga paham mengapa Ibu menjadi manusia gila seusai keluar dari kamar pengap ini. Di dalam kamar ini, Ibu berlaku sebagai seorang Ibu yang sabar mengurusi putrinya yang cacat ini. Akan tetapi, di luar kamar ada tiga orang suster yang mengawasinya bergantian. Ya, Ibu adalah manusia gila yang penuh kasih sayang. Seusai pemakaman Bapak, ia kerap berbicara sendiri, lalu marah-marah dan memaki siapa saja. Tak jarang ia membuat kerusakan. Kudengar itu dari dalam kamar. Kadang bila Ibu tertidur karena bius seusai mengamuk, salah satu suster itu masuk ke kamarku dan memberitahu keadaan Ibu sambil menggantikan pakaianku, menggantikan tugas Ibu tentunya.
***
Mbok Jum, pembantuku, membawakan air hangat dan pakaian bersih pagi ini. Kemana Ibu? Biasanya ia yang melakukannya. Pakaian yang dibawa Mbok Jum sungguh tak seperti biasanya. Aku harus mengenakan pakaian hitam. Ya, serba hitam. Aku juga masih tak bertanya apapun ketika beberapa orang lagi masuk ke kamar pengap ini dan membuka jendela lebar-lebar. Barulah saat kursi roda di dorong keluar kamar, kuberanikan diri untuk bertanya.
“Ibumu meninggal, Nduk. Semalam dia datang kerumah Pak Lurah Bambang dan membunuhnya. Subuh tadi mayatnya ditemukan di rumah Mbah Suro, yang katanya adalah seorang dukun. Ia bunuh diri disana setelah membunuh Mbah Suro. Sebelumnya ia bercerita kepada suster kalau ia ingin membalas dendam atas tragedi yang menimpa keluarga ini”, cerita Mbok Jum kepadaku.
“Bu Sastro menuliskan ini kemarin sore”, sahut seorang perawat ketika aku mulai menitikkan air mata. Mbok Jum menerima kertas itu karena tanganku yang lumpuh tak bisa bergerak sedikit pun.
“Saya bacakan saja, Mbok” suster itu mengambil kertas lipatan kembali.
“Semoga anakku menemukan jodohnya walau dengan keadaan lumpuh seperti itu”, hanya itu yang diucapkan suster karena memang hanya kalimat itu yang tertulis dalam kertas putih yang terlipat itu. Tangisku semakin keras seiring celoteh burung kenari di teras yang mungkin juga tengah menangisi tuannya yang mati. Saat airmata telah membecekkan seluruh pipiku, Mbok Jum mengusapnya dengan sapu tangan coklat yang warnanya telah memudar.
Ah Ibu, saat merencanakan untuk mati pun kau masih saja berucap doa untukku. Terima kasih, Ibu. Semoga doamu di dengar Tuhan, dan menghilangkan sumpah serapah atas diriku sebelas tahun yang lalu itu.
Klaten, 12 Desember 2010.........16.49
*Erna Suryandari
Penulis adalah cerpenis tinggal di Klaten
Aktif dalam Komunitas Sastra Alit, Solo